17 April 2016

Tentang Anak Pertama: Lahirnya Takdir Lahir

BY ekpan No comments

Momen kehamilan bukan saja momen menegangkan untuk seorang calon ibu, tapi juga buat calon ayahnya. Ya, yg perutnya "mblendung" memang pihak wanita, tapi pihak pria yang notabene pelaku "pemblendungan" itu juga ikut tegang membayangkan tahap demi tahap menuju proses lahiran.
Tepat usia kehamilan istri saya yg ke 7 bulan..eh 6 bulan..eh 6 bulan atau 7 bulan lah ya...anak kami yg masih tinggal di rahim dinyatakan oleh dokter bahwa posisinya sungsang (posisi dimana kaki yg berada di pintu keluar, seharusnya kepala yg ada di pintu keluar). Sebagai sesama newbie, saya dan istri tentu terkejut dan sedikit panik karena dari pemeriksaan pemeriksaan sebelumnya posisi bayi sudah benar, tidak ada masalah. "Apa yg telah kami perbuat sehingga si dedek berputar di dalam sana?", begitu pikir saya.
Belum lama saya merenung, ibu dokter sigap memberi tahu kami bahwa posisi sungsang tidak perlu dikhawatirkan...masih bisa diusahakan agar anak kami kembali ke jalan yg benar...ups, maksud saya ke posisi yg benar. Lalu dokter menyuruh perawatnya untuk mengajari istri saya teknik nungging, yang katanya bisa membuat posisi bayi menjadi sebagaimana mestinya. "Tiap habis sholat, diusahakan nungging kurang lebih 10 menit", ujar dokter menyarankan. Dan satu lagi, dokter memperingatkan untuk sebisa mungkin mengurangi guncangan atau tekanan pada pantat bayi, karena kepalanya akan menyundul penampungan air ketuban, sehingga berisiko ketuban pecah..ini bisa berbahaya. (jangan membayangkan bagaimana pantat bayi bisa terguncang atau tertekan.. :p)
Semenjak saat itu istri saya mulai aktif nungging setelah sholat dengan penuh harap anak kami bisa lepas dari posisi sungsang. Minggu demi minggu dilalui, saat periksa ke dokter, mesin USG masih tetap bilang kalau anak kami masih sungsang. Kalau sampai minggu minggu menjelang hari perkiraan lahir posisinya masih sungsang, maka mau ga mau istri saya harus operasi sesar. Makin stres lah istri saya membayangkan harus operasi, apalagi dia takut jarum suntik. Dengan lagak bijaksana saya selalu berusaha menenangkan dia untuk selalu sabar, pasrah, dan tetap berusaha (sambil membatin dalam hati jumlah tabungan untuk biaya operasi.. :D).
Beragam cara coba kami perjuangkan agar anak kami tak lagi sungsang. Mulai dari nungging saran bu dokter, sampai cara-cara lain yg kami dapat dari wangsit mbah google. Tapi apa mau dikata usaha tinggal lah usaha, Allah yang mentukan semua. Sampai mendekati HPL, anak pertama kami masih nyaman dengan posisi sungsangnya. Saat kami periksa terakhir, betapa kagetnya ketika dokter bilang bahwa kalau sudah minggu segini dan masih sungsang, lebih baik segera dijadwalkan operasi sesar. Operasi sesar yg terencana akan lebih aman daripada nanti keburu kontraksi. Mendengar penjelasan itu istri saya tercekat, saya terperanjat, jantung kami berdegup cepat, dan dompet saya tetiba terasa berat.
Bayangan kami sudah menuju ke lampu-lampu bulat terang yg menghadap kasur operasi tak kurang dengan barisan gunting dan pisau operasi seperti sinetron di tivi tivi.

Melihat ketegangan di wajah pasutri newbie, sang dokter langsung bilang "tenang, operasi sesar ga seserem yg dibayangin, nanti ibu boleh kok minta diputerin musik favorit supaya lebih rileks. Dulu saya juga operasi kok ketika lahiran anak kedua". Istri saya menimpali "ooh..gitu ya dok, ga serem kan ya, ga kerasa kan dok pas operasinya". Saya berkata (dalam hati) "ga ngaruh kali dok meski diputerin musik jg, ga bisa joget2 jg kan biar ga tegang, ini operasi sesar bukan goyang sesar..hehehe"
Setelah "dipaksa" untuk memikirkan tanggal operasi sesar di bulan Desember tahun lalu, akhirnya kami pun memilih tanggal 10 bulan 12 tahun 2015 sebagai hari lahir anak pertama kami. Kenapa kami memilih tanggal itu? tentu sudah dengan berbagai pertimbangan, bukan karena weton atau hari baik, tapi karena tanggal 11 bulan 12 tahun 2013 sudah lewat...tanggal 12 bulan 12 tahun 2012 juga sudah 3 tahun lalu.. :D
Sejak saat itu lah kami pasrah dan bersiap-siap menghadapi operasi sesar. Kamipun harus ikhlas dan tenang, memang takdirnya sudah begitu, karena ternyata anak pertama kami lebih memilih untuk keluar lewat jendela, bukan lewat pintu...hehe..