22 Agustus 2017

Motor, Solusi Kemacetan yang Dituduh Jadi Biang Kemacetan

BY ekpan No comments

Sudah bukan berita populer lagi jika kita membicarakan kemacetan di Jakarta. Macet seperti keberadaan kucing di pemukiman, sudah biasa dan pasti ada. Konon dulu hari libur dikecualikan dalam kategori hari macet di Jakarta. Tapi faktanya, kini hari libur juga tak mau kalah, macet di mana-mana.

Kalau bicara penyebabnya, tentu kompleks dan rumit, bukan keahlian saya. Kalau bicara kebijakan mengatasinya, sudah banyak gubernur mengambil peran, semuanya orang hebat. Tapi bagi saya, secara kasat mata belum ada perubahan. Tiap pagi sore (maaf bukan rumah makan padang) selalu mampet di jalanan.

Di tengah kondisi lalu lintas Jakarta yang ruwet itu, masyarakat dipaksa memikirkan solusi secara mandiri. Sepeda motor yang langsing dan lincah menjadi pilihan paling realistis memecah kebuntuan di jalan. Itu pula yang membuat ojek online kini laris manis diburu. Tak lain dan tak bukan karena sepeda motor dipandang lebih efektif untuk menempuh perjalanan di tengah jam-jam macet ibu kota. Moda transportasi roda dua ini seakan jadi solusi instan agar tak terdampar dalam kemacetan.

Betapa terkejutnya saya ketika sekitar dua hari yang lalu membaca tautan berita yang mengabarkan bahwa di bulan September akan diberlakukan pelarangan sepeda motor di sepanjang jalan sudirman dan rasuna said. Eh, maaf bukan pelarangan tapi pembatasan, karena sepeda motor dibatasi untuk tidak melintasi kedua jalan tersebut dari jam 6.00-23.00 di hari senin - jumat. Tapi saya lebih suka menyebutnya pelarangan karena sedikit sekali yang akan bersepeda motor jam 00.00-5.00. Lebih membuat saya geleng-geleng kepala adalah argumen di balik kebijakan itu. Disebutkan bahwa pelarangan motor ini dilatarbelakangi pertumbuhan sepeda motor yang sangat tinggi, mencapai 9,7 % sd 11 %. Sedangkan pertumbuhan mobil "hanya" 7, 9 % sd 8,75 % (sumber: detik.com). Yang makin membuat saya mengelus dada (saya sendiri), ketika terucap bahwasanya kebijakan ini sebagai upaya mengurangi kemacetan. Dengan kata lain, secara tidak langsung sepeda motor dituduh sebagai biang kemacetan sehingga perlu "dimusnahkan". Alamak, sebagai pengguna motor, sedih saya mendengarnya. Fitnah yang sungguh "kejam".

Fitnah? ya fitnah. Coba kita pakai hitungan sederhana saja untuk mengujinya. Saya coba googling dimensi sepeda motor dan mobil untuk dibandingkan. Agar perbandingannya "ekstrim" saya coba membandingkan sepeda motor yang cukup besar dengan mobil yang paling kecil. Baik, saya ambil contoh sepeda motor honda CBR. Lebarnya 0,76 m dan panjangnya 2,04 meter sehingga luas jalan yang dibutuhkan 1,55 meter persegi. Kemudian saya pilih honda brio sebagai perbandingan. Lebarnya 1,68 meter dan panjangnya 3,61 meter sehingga luas jalan yang dibutuhkan 6,06 meter persegi. Buka mata "Anda" lebar-lebar, luas jalan yang dibutuhkan mobil  empat kali dari sepeda motor. Atau gampangnya, di jalan, kebutuhan akan luas jalan satu mobil setara dengan empat sepeda motor. Oke kita hitung lebih jauh lagi. Karena tadi berbicara tentang pertumbuhan, mari kita buktikan. Anggap saja jumlah motor tahun lalu 100 unit sehingga luas jalan yang dibutuhkan adalah  155 meter persegi. Kita ambil perkiraan pertumbuhan yang paling tinggi, 11%, maka jumlah sepeda motor menjadi 111 unit sehingga makan tempat 172,05 meter persegi. Pertambahan luas jalan yang dibutuhkan sebesar 17,05 meter persegi. Sekarang kita hitung pertumbuhan mobil. Asumsikan tahun lalu jumlah mobil juga sama, 100 unit sehingga luas jalan yang dibutuhkan 606 meter persegi. Kita pilih perkiraan pertumbuhan yang paling kecil 7,9%, maka jumlah mobil menjadi107,9 unit. Oke kita bulatkan ke bawah saja jadi 107 unit sehingga makan tempat 648,42 meter persegi. Pertambahan luas jalan yang dibutuhkan sebesar 42,42 meter persegi.  Coba lihat, meskipun secara persentase pertumbuhan motor lebih besar dibanding mobil, pertambahan luas jalan yang dibutuhkan seiring pertumbuhan mobil 2,5 kali lebih tinggi dibanding sepeda motor. Sederhananya, pertumbuhan mobil makan jalan 2,5 kali lebih banyak dibanding sepeda motor. Ini baru kita ambil contoh mobil dengan dimensi kecil, padahal kita tahu di jalanan didominasi jenis MPV yang dimensinya lebih besar.

Tapi kan mobil muatannya lebih banyak? Coba melek lebih lebar lagi, kita kembali ke contoh di atas, satu mobil brio maksimal 5 orang, sedangkan 4 sepeda motor muat 8 orang. Kalau cek fakta di lapangan, jarang kita lihat satu mobil diisi kapasitas penuh. Bahkan tidak sedikit yang hanya berisi 1 orang. Kalaupun penuh, biasanya itu taksi online yang penumpangnya pengen irit ongkos, seperti saya. Lagian, urusan jumlah penumpang ini sebenarnya ga nyambung-nyambung amat, karena yang dibicarakan adalah pertumbuhan jumlah kendaraan bukan penumpangnya.

Bukan, saya bukan ingin menyalahkan mobil. Hanya saja, dari hitung-hitungan sederhana tadi, saya makin yakin kalau ini fitnah yang "kejam". Saya jadi penasaran metode seperti apa yang bisa menghasilkan kesimpulan bahwa untuk mengurangi kemacetan harus dengan "menyingkirkan" sepeda motor. Saya sepakat sekali dengan pembatasan, tapi jika "Anda" bisanya baru pembatasan jumlah kendaraan yang ada di jalan, ya mbok fair dikit. Samakan lah perlakuan dengan mobil, terapkan kebijakan ganjil genap saja untuk pembatasan sepeda motor. Cukup fair bukan? Kecuali jika memang kebijakan "membunuh" sepeda motor ini ditujukan untuk mengakomodir kebutuhan pertambahan luas jalan yang dibutuhkan mobil. Fitnah itu katanya lebih kejam dari membunuh, apalagi ini, sudah fitnah "membunuh" pula.

*Seluruh data di atas hanya didapatkan dari googling semata, kalau ada perbedaan data mohon dapat diluruskan. 

29 Mei 2017

Tentang Anak Pertama : Ramadhan Kami

BY ekpan No comments

Bulan Ramadhan tahun ini sungguh sangat spesial buatku. Ini adalah puasa pertama dengan ditemani buah hati setiap harinya. Periode Ramadhan yang lalu sebenarnya anakku sudah lahir ke dunia, namun jarak memisahkan kami waktu itu sehingga tak bisa setiap hari bertemu. 
Anak pertamaku kini masih berusia 1 tahun 5 bulan dan tentu saja belum berpuasa, tetapi setiap saat berbuka dia akan ikut heboh atau lebih tepatnya rusuh mencicipi makanan sesuka hatinya. Meskipun ada sedikit kesal terasa tapi terobati oleh keseruan yang tiada duanya. Dahulu hanya buka bersama di hari sabtu, kini kami bisa sepiring berdua tiap adzan maghrib menggema.

Tak berhenti di situ, anak pertama yang sedang lucu-lucunya dan juga ngeyel-ngeyelnya ini sering menunjukkan tingkah yang membuat saya terkekeh-kekeh. Salah satunya saat puasa memasuki hari kedua. Pagi itu saya mencoba tilawah karena melihat anak sedang bermain di kamar, aman pikirku. Dilema menggunakan Mushaf atau aplikasi Quran di handphone, karena keduanya punya risiko yang sama beratnya. Mushaf bisa dirobek jika ketahuan anakku, handphone juga akan direbut jika dia melihatnya. Karena aku dan istri sudah berkomitmen untuk meminimalisasi kontak anakku dengan handphone, maka pilihan jatuh ke Mushaf tentu dengan risiko dirobek.

Baru membaca setengah halaman, terdengar suara anakku yang sedang bergegas turun dari kasur. Terdengar suara "yayah.. yayah.." keluar dari mulut imutnya, pertanda dia akan menghampiri ayahnya. Aku langsung ambil kuda-kuda dan siaga satu karena aku tahu dia akan penasaran dengan Mushaf kecil yang ada di tanganku. Benar saja, dia berlari ke arahku dan dengan cepat meraih Mushaf hijau yang kupegang. Sempat ingin kularang, tapi akhirnya kubiarkan. Biarlah dia berkenalan dengan Al Quran, meskipun di matanya mungkin itu hanya sekedar buku kecil yang enak dipegang dan dimainkan. Coba kuajarkan dia untuk membuka lembarannya satu per satu. Tapi dasar anak kecil, dengan lagak sok tahunya dia membuka-buka sendiri sesukanya.

Tangannya bergerak membolak-balikkan halaman per halamannya. Raut mukanya tampak serius dan matanya fokus melihat huruf arab yang ada di hadapannya seolah ingin tahu apa yang sedang dipegangnya. Khawatir mulai bosan dan berusaha merobek lembarannya, kutuntun dia untuk meletakkannya di meja dan menyuruh membacanya. Meskipun sempat protes, tapi akhirnya dia nurut juga. Diletakkannya Mushaf yang masih terbuka itu di atas meja dengan raut muka dan pandangan yang masih seserius yang tadi.

Aku biarkan dia, tapi dengan terus mengawasinya dari kemungkinan tindak perobekan atau pelemparan yang seringkali terjadi. Situasi nampak aman, dia masih asyik dengan Mushaf yang terus dibuka-buka dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Aku hanya bisa senyum-senyum memperhatikannya. Hingga tiba saat yang tak dinyana dan tak diduga, anak pertamaku ini tiba-tiba bersuara lantang. Bunyinya memang hanya "aa... oo... aa... oo.." Tapi yang mengejutkan dia menggunakan langgam mirip orang mengaji dan dilafalkannya terus menerus dalam waktu yang cukup lama. Subhanallah, aku tercekat bangga. Anak kecil yang belum pernah kuajarkan mengaji ini bisa-bisanya berlagak seperti orang yang sedang tilawah. Entah dia meniru siapa, semoga saja dia mendapatkan referensi tindak tanduk orang mengaji itu dari ayahnya.

Aku masih tak berhenti tertawa melihat kelakuannya meskipun di dalam hati juga masih terharu tiada tara. Besar harapanku bisa mengajarkan mengaji sejak dini ke anakku. Melihat dia dengan percaya diri mengaji dengan versinya seperti tadi membuat aku tak sabar menunggunya benar-benar bisa melafalkan huruf hijaiyah sesuai makhraj-nya. Semoga kelak dia menjadi hafidzah dan ahli Quran dalam kehidupan aqil baligh-nya, aamiiin.

09 Mei 2017

Tentang Anak Pertama: Tendangan Pertama

BY ekpan No comments

Jam di handphone sudah menunjukkan pukul 12.22 dini hari...mata ini masih terbuka setelah menonton pertandingan bola, meski badan sudah terbaring di atas kasur...sedangkan istri sudah lama terlelap di samping saya..
Karena belum ada tanda tanda akan segera pergi ke dunia mimpi...iseng saya mengelus perut istri yang sudah membumbung tinggi...
ternyata sedikit sentuhan itu malah membangunkan dia...
Sebab tak enak hati sudah mengganggu kenyenyakan istri saya...tanganpun kembali saya tarik untuk menyangga kepala sambil menunggu terlelap...
Namun tak lama, wanita yg dari tadi tidur di samping saya tiba-tiba menarik tangan saya menuju perutnya...
Ketika itu saya ga langsung "ngeh" apa maksudnya.. Tapi saya turutin saja.. Dia pun tak berkata-kata hanya terus memegangi pergelangan tangan saya yang kini menempel di perutnya...
Beberapa waktu berselang..kemudian terasa sedikit kegaduhan di balik perut istri saya...ada makhluk yang sepertinya sedang bergerak atau mungkin hanya sekedar mencari "posisi wuenak" di dalam sana...
Penasaran saya memindahkan tangan ke beberapa titik di perut istri..tapi dia kembali menarik tangan saya ke pusat kegaduhan yang terjadi tadi...
Dan...terdengar suara "dug" (kalau ini hanya saya bikin sedikit dramatis aja :D) akibat benda mungil yang saya rasakan bergerak menonjol di perut istri saya...
Akhirnya...saya merasakan tendangan pertama (semoga saya ga salah..mungkin itu bukan tendangan tapi pukulan) dari buah hati saya di dalam rahim sana...
Ah...luar biasa rasanya...setelah sekian bulan ketika istri saya bilang bahwa sang bayi bergerak dan saya hanya bisa mendengar ceritanya...malam itu akhirnya saya merasakan tendangan anak saya pertama kalinya...
Subhanallah... :)

03 Mei 2017

Benar-Benar Merasakan

BY ekpan No comments

Petang itu seperti biasa si vahri sudah siap digeber melintasi rute pulang kantor. Trayeknya Lapangan Banteng - Rawa Belong via Istana Negara - Jatibaru - Slipi. Vahri nampak sedikit lusuh hari ini karena terpaan panas dan hujan saat long weekend. Ya, si Vahri yang nama lengkapnya vahrio ini memang cukup bekerja keras selama libur tiga hari kemarin.
Tapi inti ceritanya bukan disitu, singkatnya, ketika sampai di samping Istana negara alangkah terkejutnya saya ketika melihat jajaran kendaraan bermotor dari berbagai usia dan jenis kelamin bergumul rapat di depan sana. Tak biasanya seperti itu karena sehari-harinya keruwetan baru dimulai di jalan abdul muis. Dengan sedikit meliuk-liuk di antara deretan mobil, kami akhirnya berhasil sampai di depan Istana Negara. Sempat saya standar si Vahri sambil celingukan ke arah depan karena semua kendaraan tak bisa jalan. Alamak, pemandangan yang rumit nampaknya karena barisan kendaraan sudah membentuk simpul mati.
Di tengah suasana jalanan yang amburadul itu tiba-tiba nampak barisan hitam-hitam dengan sirine biru menyala-nyala keluar dari gerbang istana yang sudah terbuka sejak lama. Makin menambah kebuntuan lah ini karena arus kendaraan dihentikan sejenak demi memberi mereka jalan. Entahlah siapa yang ada di dalam mobil mewah yang dikawal itu, yang pasti mereka dengan nyaman melenggang di tengah kemacetan panjang.
Karena itu terjadi di depan kediaman kenegaraan presiden, beberapa detik saya jadi membayangkan seandainya saya adalah Pak Jokowi. Jika seandainya Pak Jokowi yang seorang Presiden Indonesia ada dalam posisi saya saat itu, bagaimana ya reaksinya?
Ya, coba bayangkan Pak Jokowi naik motor sendirian tanpa pengawalan di tengah kemacetan yang tak tahu dari mana asal muasalnya. Pasti ada rasa sebal dan kesal, sama halnya dengan saya karena seluruh penjuru mata angin tak ada ruang untuk sekedar memajukan kendaraan. Bedanya, saya hanya bisa menggerutu dan ngomel-ngomel sendiri, tapi kalau seandainya saya adalah Pak Jokowi, mungkin saya bisa ngomel-ngomelin Gubernur DKI atau Kapolda metrojaya atau siapapun pejabat yang bertanggung jawab atas kemacetan Jakarta yang tak kunjung teratasi. Saya akan bisa segera berpikir dan bertindak nyata karena saya adalah pimpinan tertinggi di Indonesia yang punya kuasa.
Masih ingat dulu Pak Dahlan Iskan yang masih Menteri BUMN sempat ngamuk dan membuang kursi pos jaga tol? Beliau melakukan itu akibat pelayanan gerbang tol yang lama karena jumlah petugas pintu tol tidak seperti yang seharusnya sehingga antrian mobil menjadi panjang. Beliau bisa bertindak seperti itu karena saat itu beliau punya kuasa atas Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol tersebut. Jadi beliau bisa langsung memberikan "teguran" secara nyata dengan caranya.
Itu lah yang selama ini sedikit tidak pas di hati saya. Bagaimana pejabat terkait bisa benar-benar memikirkan solusi konkrit terhadap suatu masalah kalau beliau tidak benar-benar merasakannya? Dalam contoh kasus ini, Bagaimana pejabat terkait bisa benar-benar memikirkan solusi konkrit atas kemacetan yang merajalela jika mereka tidak pernah benar-benar merasakannya karena selalu dikawal kemana-mana. Bahkan untuk beberapa level pejabat, ada yang harus disterilkan jalanannya hanya agar mereka bisa melintas dengan aman dan nyaman.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan betapa muak dan menjengkelkannya tiap hari berangkat dan pulang kerja selalu bermacet-macet ria.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan masuk angin karena kaos dalam basah keringetan akibat panas-panasan macet parah.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan frustasi karena harus menahan emosi menghadapi tensi jalanan yang tinggi.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan semua itu. Makanya langkah mereka hanya berkutat pada wacana, hasil membaca dan teori belaka.
Seingat saya belum pernah dengar berita ada seorang Presiden, atau seorang gubernur atau kapolda metrojaya atau pejabat berwenang lainnya yang sedang mengendarai mobil atau motor sendiri di Jakarta kemudian turun dari kendaraannya dan marah-marah karena kemacetan parah yang sering kali tak tahu apa sebabnya.
Memang pengawalan pejabat itu halal sesuai ketentuannya, tapi buat saya itu malah membuat manja dan pejabat tak bisa benar-benar memikirkan masalah yang dirasakan rakyat jelata. Sekali lagi, karena mereka tidak benar-benar merasakan tidak enaknya.
Semua manusia akan bereaksi atas apa yang dialami dirinya sendiri. Bedanya, rakyat jelata hanya bisa ngomel-ngomel sendiri dan dipendam dalam hati, sedangkan pejabat yang punya kuasa bisa ngomel-ngomelin bawahannya dan mengambil kebijakan nyata.

09 Januari 2017

Liburan Sekolah

BY ekpan No comments

Dalam kurun waktu dua minggu yang lalu, anak-anak sekolah menikmati masa liburannya. Dari anak SD sampai SMA bisa rehat sejenak dari buku pelajaran mereka. Layaknya dulu tugas dari guru bahasa indonesia untuk menceritakan pengalaman selama libur, sungguh saya ingin menceritakan kegembiraan saya selama liburan sekolah kemarin meski saya sudah tak sekolah lagi.
Sebagai penghuni DKI Jakarta, sudah tak asing lagi dengan hiruk pikuknya kemacetan jalanan. Terutama ketika hari kerja di pagi dan sore hari. Percaya atau tidak, kemacetan di Jakarta ini punya korelasi dengan liburan sekolah. Tanpa perlu menggunakan SPSS atau sejenisnya, sudah mahfum bahwa tingkat kemacetan jakarta berbanding terbalik dengan liburan sekolah. Saat liburan sekolah telah tiba, maka kemacetan jakarta seketika akan pergi. Begitu pula saat liburan sekolah telah usai, seketika itu pula kemacetan jakarta kembali dimulai. Belum diteliti variabel yang mempengaruhi apa saja, tapi yang jelas hubungannya seperti itu.
Adanya hubungan berkebalikan tadi, membuat saya dan mungkin sebagian besar kaum pekerja di Jakarta sangat bergembira ketika dua minggu lalu liburan sekolah telah tiba. Kualitas kehidupan saya mengalami peningkatan yang signifikan. Waktu tempuh ke kantor yang biasanya 40-45 menit bisa menjadi 25-30 menit saja. Pulang kantor yang biasanya menghabiskan 50-60 menit, mendadak terpangkas menjadi 35-45 menit. Bayangkan, waktu berkumpul saya dengan keluarga bertambah rata-rata 30 menit per hari, rasa lelah di perjalanan juga relatif berkurang karena perjalanan lebih cepat, sholat maghrib juga bisa tenang karena sudah sampai rumah sebelum adzan, tunjangan juga aman dari potongan karena ga pernah telat, dan masih banyak peningkatan-peningkatan kualitas hidup yang saya rasakan.
Dari pertama di Jakarta, harapan saya, siapapun gubernurnya yang penting hilang macetnya. Bagi saya tolak ukur kesuksesan seorang gubernur Jakarta bukanlah kemajuan perekonomian, indahnya taman, atau lebarnya trotoar, tapi turun drastisnya tingkat kemacetan. Kemacetan sudah begitu memuakkan dan sudah banyak penelitian yang mengukur tingkat kemacetan ke dalam besaran kerugian secara ekonomi yang mencapai triliunan. Dari pengalaman liburan sekolah kemarin, saya jadi kepikiran untuk sumbang saran (nama) program kepada cagub dan cawagub DKI yang kini sedang bertarung. Bisa dibuat sebuah program anti kemacetan yang dinamai "Membuat Jakarta yang Libur Sekolah" atau semacamnya. Intinya bagaimana caranya jalanan Jakarta sehari-harinya seperti pas liburan sekolah, lancar dan menyenangkan. Perlu diteliti variabel-variabelnya lalu bikin kebijakan yang mengendalikan variabel itu. Misalnya, banyak yang beranggapan saat liburan sekolah bisa bebas macet karena berkurangnya mobil-mobil yang mengantar anaknya pergi sekolah dengan jumlah yang signifikan. Menilik dari hal itu bisa dipikirkan kebijakan yang tepat, seperti pembatasan kendaraan roda empat yang lebih efektif dan signifikan efeknya dengan metode yang kekinian bukan hanya sekedar rumus matematika bilangan ganjil atau genap. Itu cuma sekedar permisalan seadanya dari saya. Saya yakin jika calon no. 1 ataupun no. 3 yang menang nanti, pasti bisa memikirkan cara yang riil dalam mewujudkan usul dan saran saya tadi.
Hingga akhirnya hari senin ini para siswa dan siswi harus memakai seragam lagi untuk kembali belajar di sekolah. Ini menjadi pertanda bahwa sayapun harus kembali mengalami penurunan kualitas hidup dengan kembali habisnya waktu di jalanan dan kembali macetnya tiap titik perjalanan yang saya lalui. 
Benar saja, hari ini perjalan ke kantor memakan waktu 45 menit dan pulang ke rumah butuh 60 menit saja.

Satu pertanyaan yang sekarang muncul di benak saya, Kapan Liburan Sekolah lagi???