03 Mei 2017

Benar-Benar Merasakan

BY ekpan No comments

Petang itu seperti biasa si vahri sudah siap digeber melintasi rute pulang kantor. Trayeknya Lapangan Banteng - Rawa Belong via Istana Negara - Jatibaru - Slipi. Vahri nampak sedikit lusuh hari ini karena terpaan panas dan hujan saat long weekend. Ya, si Vahri yang nama lengkapnya vahrio ini memang cukup bekerja keras selama libur tiga hari kemarin.
Tapi inti ceritanya bukan disitu, singkatnya, ketika sampai di samping Istana negara alangkah terkejutnya saya ketika melihat jajaran kendaraan bermotor dari berbagai usia dan jenis kelamin bergumul rapat di depan sana. Tak biasanya seperti itu karena sehari-harinya keruwetan baru dimulai di jalan abdul muis. Dengan sedikit meliuk-liuk di antara deretan mobil, kami akhirnya berhasil sampai di depan Istana Negara. Sempat saya standar si Vahri sambil celingukan ke arah depan karena semua kendaraan tak bisa jalan. Alamak, pemandangan yang rumit nampaknya karena barisan kendaraan sudah membentuk simpul mati.
Di tengah suasana jalanan yang amburadul itu tiba-tiba nampak barisan hitam-hitam dengan sirine biru menyala-nyala keluar dari gerbang istana yang sudah terbuka sejak lama. Makin menambah kebuntuan lah ini karena arus kendaraan dihentikan sejenak demi memberi mereka jalan. Entahlah siapa yang ada di dalam mobil mewah yang dikawal itu, yang pasti mereka dengan nyaman melenggang di tengah kemacetan panjang.
Karena itu terjadi di depan kediaman kenegaraan presiden, beberapa detik saya jadi membayangkan seandainya saya adalah Pak Jokowi. Jika seandainya Pak Jokowi yang seorang Presiden Indonesia ada dalam posisi saya saat itu, bagaimana ya reaksinya?
Ya, coba bayangkan Pak Jokowi naik motor sendirian tanpa pengawalan di tengah kemacetan yang tak tahu dari mana asal muasalnya. Pasti ada rasa sebal dan kesal, sama halnya dengan saya karena seluruh penjuru mata angin tak ada ruang untuk sekedar memajukan kendaraan. Bedanya, saya hanya bisa menggerutu dan ngomel-ngomel sendiri, tapi kalau seandainya saya adalah Pak Jokowi, mungkin saya bisa ngomel-ngomelin Gubernur DKI atau Kapolda metrojaya atau siapapun pejabat yang bertanggung jawab atas kemacetan Jakarta yang tak kunjung teratasi. Saya akan bisa segera berpikir dan bertindak nyata karena saya adalah pimpinan tertinggi di Indonesia yang punya kuasa.
Masih ingat dulu Pak Dahlan Iskan yang masih Menteri BUMN sempat ngamuk dan membuang kursi pos jaga tol? Beliau melakukan itu akibat pelayanan gerbang tol yang lama karena jumlah petugas pintu tol tidak seperti yang seharusnya sehingga antrian mobil menjadi panjang. Beliau bisa bertindak seperti itu karena saat itu beliau punya kuasa atas Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol tersebut. Jadi beliau bisa langsung memberikan "teguran" secara nyata dengan caranya.
Itu lah yang selama ini sedikit tidak pas di hati saya. Bagaimana pejabat terkait bisa benar-benar memikirkan solusi konkrit terhadap suatu masalah kalau beliau tidak benar-benar merasakannya? Dalam contoh kasus ini, Bagaimana pejabat terkait bisa benar-benar memikirkan solusi konkrit atas kemacetan yang merajalela jika mereka tidak pernah benar-benar merasakannya karena selalu dikawal kemana-mana. Bahkan untuk beberapa level pejabat, ada yang harus disterilkan jalanannya hanya agar mereka bisa melintas dengan aman dan nyaman.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan betapa muak dan menjengkelkannya tiap hari berangkat dan pulang kerja selalu bermacet-macet ria.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan masuk angin karena kaos dalam basah keringetan akibat panas-panasan macet parah.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan frustasi karena harus menahan emosi menghadapi tensi jalanan yang tinggi.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan semua itu. Makanya langkah mereka hanya berkutat pada wacana, hasil membaca dan teori belaka.
Seingat saya belum pernah dengar berita ada seorang Presiden, atau seorang gubernur atau kapolda metrojaya atau pejabat berwenang lainnya yang sedang mengendarai mobil atau motor sendiri di Jakarta kemudian turun dari kendaraannya dan marah-marah karena kemacetan parah yang sering kali tak tahu apa sebabnya.
Memang pengawalan pejabat itu halal sesuai ketentuannya, tapi buat saya itu malah membuat manja dan pejabat tak bisa benar-benar memikirkan masalah yang dirasakan rakyat jelata. Sekali lagi, karena mereka tidak benar-benar merasakan tidak enaknya.
Semua manusia akan bereaksi atas apa yang dialami dirinya sendiri. Bedanya, rakyat jelata hanya bisa ngomel-ngomel sendiri dan dipendam dalam hati, sedangkan pejabat yang punya kuasa bisa ngomel-ngomelin bawahannya dan mengambil kebijakan nyata.

0 komentar:

Posting Komentar