07 Agustus 2016

Tentang Anak Pertama: Rindu yang Mendewasakan

BY ekpan No comments

Sejak kuliah saya sudah memilih untuk merantau. Ya..pilihan saya sendiri karena memang saat lulus SMA saya sudah bertekad untuk tak lagi sekolah di kota kelahiran, Jember. Waktu itu sederhana alasannya, bosan tinggal di rumah bersama orang tua mulai dari lahir. Ingin belajar mandiri dan mencari jati diri, alasan klasik darah muda yang masih meletup-letup. Mimpi mulai dibangun dengan kuliah di STAN Jakarta yang sebenarnya kampusnya di Tangerang, meski orang tua lebih ingin saya tetap kuliah di Jember. Alasannya, orang tua pasti akan lebih senang jika anak mereka setiap hari ada di dekat mereka. Alasan yang waktu itu saya anggap terlalu dramatis.
Setelah berpuluh puluh tahun kejadian itu berlalu, malam ini, takdir membawakan saya hikmah yang begitu berharga. Yang menyadarkan, betapa saya salah dulu menganggap orang tua saya terlalu dramatis.
Ceritanya, saat ini saya sudah menjadi orang tua. Seorang anak perempuan cantik sudah dikaruniakan oleh Allah swt 8 bulan yang lalu. Kondisi mengharuskan saya untuk tidak bisa setiap hari ada di samping anak saya. Saya di Jakarta, anak dan istri di Jogja. Kami hanya bisa bercengkerama tiap akhir pekan. Sabtu pagi sampai Jogja, Minggu malam kembali ke Jakarta. Rutinitas melelahkan tapi menyenangkan. Bagaimana tidak melelahkan, 2 malam dalam seminggu dihabiskan dengan tidur duduk di kursi kereta. Tapi, bagaimana tidak menyenangkan, hari sabtu dan setengah hari minggu bisa maen dengan anak yang lagi lucu lucunya, dan juga istri yang lagi cantik cantiknya (boong dikit gpp kan ya bu..hihi..piss).
Momen di hari minggu malam selalu sama, saya berpamitan kepada anak istri untuk kembali ke Jakarta. Salim, cium pipi kiri pipi kanan, cium dahi, cium hidung, cium bibir...eits...ini ritual dengan anak lho ya (kalo sama istri kan rahasia..hehe). Setelah itu, saya bergaya bijaksana dengan menasehatinya untuk nurut sama ibunya dan segera tidur karena sudah malam. Anak saya biasanya tak terlalu menggubris dan hanya ceriwis ngomong dengan kosakata yang belum jelas.
Namun minggu malam kali ini berbeda. Saat saya melakukan ritual pamitan seperti biasa, tiba-tiba anak saya memandangi wajah saya dan menjulurkan tangannya, tanda minta gendong. Masya Allah, serrr rasanya, jadi berat untuk pulang ke Jakarta (maaf sudah mulai dramatis, hehe..), rasanya pengen menggendongnya lama dan menemaninya tidur dalam mimpi indahnya. Tapi apa mau di kata, tiket kereta tidak bisa diubah jadwalnya...mau tak mau saya harus berangkat ke stasiun. Sepanjang perjalanan dari kontrakan ke lempuyangan, pikiran saya tersadarkan bahwasanya memang sungguh lah berat berada jauh dari anak kita. Dan saya jadi mengerti kenapa dulu orang tua saya "menggandoli" saya agar kuliah di Jember saja.
Ternyata memang bukan suatu hal yang lebay ketika orang tua tidak mau jauh dari anaknya, meski anaknya sudah dewasa. Juga bukan hal yang terlalu drama ketika air mata orang tua berlinang saat ditinggal anaknya merantau.
Tapi sebagai orang tua yang sudah bertekad akan memberikan kebebasan pilihan kepada anaknya kelak, saya tak akan keberatan dan menghalangi ketika anak saya nanti memutuskan untuk merantau, 
,
,
,
,

Asalkan saya selalu ikut bersama dia, hehee.... Sekian.