29 Mei 2017

Tentang Anak Pertama : Ramadhan Kami

BY ekpan No comments

Bulan Ramadhan tahun ini sungguh sangat spesial buatku. Ini adalah puasa pertama dengan ditemani buah hati setiap harinya. Periode Ramadhan yang lalu sebenarnya anakku sudah lahir ke dunia, namun jarak memisahkan kami waktu itu sehingga tak bisa setiap hari bertemu. 
Anak pertamaku kini masih berusia 1 tahun 5 bulan dan tentu saja belum berpuasa, tetapi setiap saat berbuka dia akan ikut heboh atau lebih tepatnya rusuh mencicipi makanan sesuka hatinya. Meskipun ada sedikit kesal terasa tapi terobati oleh keseruan yang tiada duanya. Dahulu hanya buka bersama di hari sabtu, kini kami bisa sepiring berdua tiap adzan maghrib menggema.

Tak berhenti di situ, anak pertama yang sedang lucu-lucunya dan juga ngeyel-ngeyelnya ini sering menunjukkan tingkah yang membuat saya terkekeh-kekeh. Salah satunya saat puasa memasuki hari kedua. Pagi itu saya mencoba tilawah karena melihat anak sedang bermain di kamar, aman pikirku. Dilema menggunakan Mushaf atau aplikasi Quran di handphone, karena keduanya punya risiko yang sama beratnya. Mushaf bisa dirobek jika ketahuan anakku, handphone juga akan direbut jika dia melihatnya. Karena aku dan istri sudah berkomitmen untuk meminimalisasi kontak anakku dengan handphone, maka pilihan jatuh ke Mushaf tentu dengan risiko dirobek.

Baru membaca setengah halaman, terdengar suara anakku yang sedang bergegas turun dari kasur. Terdengar suara "yayah.. yayah.." keluar dari mulut imutnya, pertanda dia akan menghampiri ayahnya. Aku langsung ambil kuda-kuda dan siaga satu karena aku tahu dia akan penasaran dengan Mushaf kecil yang ada di tanganku. Benar saja, dia berlari ke arahku dan dengan cepat meraih Mushaf hijau yang kupegang. Sempat ingin kularang, tapi akhirnya kubiarkan. Biarlah dia berkenalan dengan Al Quran, meskipun di matanya mungkin itu hanya sekedar buku kecil yang enak dipegang dan dimainkan. Coba kuajarkan dia untuk membuka lembarannya satu per satu. Tapi dasar anak kecil, dengan lagak sok tahunya dia membuka-buka sendiri sesukanya.

Tangannya bergerak membolak-balikkan halaman per halamannya. Raut mukanya tampak serius dan matanya fokus melihat huruf arab yang ada di hadapannya seolah ingin tahu apa yang sedang dipegangnya. Khawatir mulai bosan dan berusaha merobek lembarannya, kutuntun dia untuk meletakkannya di meja dan menyuruh membacanya. Meskipun sempat protes, tapi akhirnya dia nurut juga. Diletakkannya Mushaf yang masih terbuka itu di atas meja dengan raut muka dan pandangan yang masih seserius yang tadi.

Aku biarkan dia, tapi dengan terus mengawasinya dari kemungkinan tindak perobekan atau pelemparan yang seringkali terjadi. Situasi nampak aman, dia masih asyik dengan Mushaf yang terus dibuka-buka dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Aku hanya bisa senyum-senyum memperhatikannya. Hingga tiba saat yang tak dinyana dan tak diduga, anak pertamaku ini tiba-tiba bersuara lantang. Bunyinya memang hanya "aa... oo... aa... oo.." Tapi yang mengejutkan dia menggunakan langgam mirip orang mengaji dan dilafalkannya terus menerus dalam waktu yang cukup lama. Subhanallah, aku tercekat bangga. Anak kecil yang belum pernah kuajarkan mengaji ini bisa-bisanya berlagak seperti orang yang sedang tilawah. Entah dia meniru siapa, semoga saja dia mendapatkan referensi tindak tanduk orang mengaji itu dari ayahnya.

Aku masih tak berhenti tertawa melihat kelakuannya meskipun di dalam hati juga masih terharu tiada tara. Besar harapanku bisa mengajarkan mengaji sejak dini ke anakku. Melihat dia dengan percaya diri mengaji dengan versinya seperti tadi membuat aku tak sabar menunggunya benar-benar bisa melafalkan huruf hijaiyah sesuai makhraj-nya. Semoga kelak dia menjadi hafidzah dan ahli Quran dalam kehidupan aqil baligh-nya, aamiiin.

09 Mei 2017

Tentang Anak Pertama: Tendangan Pertama

BY ekpan No comments

Jam di handphone sudah menunjukkan pukul 12.22 dini hari...mata ini masih terbuka setelah menonton pertandingan bola, meski badan sudah terbaring di atas kasur...sedangkan istri sudah lama terlelap di samping saya..
Karena belum ada tanda tanda akan segera pergi ke dunia mimpi...iseng saya mengelus perut istri yang sudah membumbung tinggi...
ternyata sedikit sentuhan itu malah membangunkan dia...
Sebab tak enak hati sudah mengganggu kenyenyakan istri saya...tanganpun kembali saya tarik untuk menyangga kepala sambil menunggu terlelap...
Namun tak lama, wanita yg dari tadi tidur di samping saya tiba-tiba menarik tangan saya menuju perutnya...
Ketika itu saya ga langsung "ngeh" apa maksudnya.. Tapi saya turutin saja.. Dia pun tak berkata-kata hanya terus memegangi pergelangan tangan saya yang kini menempel di perutnya...
Beberapa waktu berselang..kemudian terasa sedikit kegaduhan di balik perut istri saya...ada makhluk yang sepertinya sedang bergerak atau mungkin hanya sekedar mencari "posisi wuenak" di dalam sana...
Penasaran saya memindahkan tangan ke beberapa titik di perut istri..tapi dia kembali menarik tangan saya ke pusat kegaduhan yang terjadi tadi...
Dan...terdengar suara "dug" (kalau ini hanya saya bikin sedikit dramatis aja :D) akibat benda mungil yang saya rasakan bergerak menonjol di perut istri saya...
Akhirnya...saya merasakan tendangan pertama (semoga saya ga salah..mungkin itu bukan tendangan tapi pukulan) dari buah hati saya di dalam rahim sana...
Ah...luar biasa rasanya...setelah sekian bulan ketika istri saya bilang bahwa sang bayi bergerak dan saya hanya bisa mendengar ceritanya...malam itu akhirnya saya merasakan tendangan anak saya pertama kalinya...
Subhanallah... :)

03 Mei 2017

Benar-Benar Merasakan

BY ekpan No comments

Petang itu seperti biasa si vahri sudah siap digeber melintasi rute pulang kantor. Trayeknya Lapangan Banteng - Rawa Belong via Istana Negara - Jatibaru - Slipi. Vahri nampak sedikit lusuh hari ini karena terpaan panas dan hujan saat long weekend. Ya, si Vahri yang nama lengkapnya vahrio ini memang cukup bekerja keras selama libur tiga hari kemarin.
Tapi inti ceritanya bukan disitu, singkatnya, ketika sampai di samping Istana negara alangkah terkejutnya saya ketika melihat jajaran kendaraan bermotor dari berbagai usia dan jenis kelamin bergumul rapat di depan sana. Tak biasanya seperti itu karena sehari-harinya keruwetan baru dimulai di jalan abdul muis. Dengan sedikit meliuk-liuk di antara deretan mobil, kami akhirnya berhasil sampai di depan Istana Negara. Sempat saya standar si Vahri sambil celingukan ke arah depan karena semua kendaraan tak bisa jalan. Alamak, pemandangan yang rumit nampaknya karena barisan kendaraan sudah membentuk simpul mati.
Di tengah suasana jalanan yang amburadul itu tiba-tiba nampak barisan hitam-hitam dengan sirine biru menyala-nyala keluar dari gerbang istana yang sudah terbuka sejak lama. Makin menambah kebuntuan lah ini karena arus kendaraan dihentikan sejenak demi memberi mereka jalan. Entahlah siapa yang ada di dalam mobil mewah yang dikawal itu, yang pasti mereka dengan nyaman melenggang di tengah kemacetan panjang.
Karena itu terjadi di depan kediaman kenegaraan presiden, beberapa detik saya jadi membayangkan seandainya saya adalah Pak Jokowi. Jika seandainya Pak Jokowi yang seorang Presiden Indonesia ada dalam posisi saya saat itu, bagaimana ya reaksinya?
Ya, coba bayangkan Pak Jokowi naik motor sendirian tanpa pengawalan di tengah kemacetan yang tak tahu dari mana asal muasalnya. Pasti ada rasa sebal dan kesal, sama halnya dengan saya karena seluruh penjuru mata angin tak ada ruang untuk sekedar memajukan kendaraan. Bedanya, saya hanya bisa menggerutu dan ngomel-ngomel sendiri, tapi kalau seandainya saya adalah Pak Jokowi, mungkin saya bisa ngomel-ngomelin Gubernur DKI atau Kapolda metrojaya atau siapapun pejabat yang bertanggung jawab atas kemacetan Jakarta yang tak kunjung teratasi. Saya akan bisa segera berpikir dan bertindak nyata karena saya adalah pimpinan tertinggi di Indonesia yang punya kuasa.
Masih ingat dulu Pak Dahlan Iskan yang masih Menteri BUMN sempat ngamuk dan membuang kursi pos jaga tol? Beliau melakukan itu akibat pelayanan gerbang tol yang lama karena jumlah petugas pintu tol tidak seperti yang seharusnya sehingga antrian mobil menjadi panjang. Beliau bisa bertindak seperti itu karena saat itu beliau punya kuasa atas Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol tersebut. Jadi beliau bisa langsung memberikan "teguran" secara nyata dengan caranya.
Itu lah yang selama ini sedikit tidak pas di hati saya. Bagaimana pejabat terkait bisa benar-benar memikirkan solusi konkrit terhadap suatu masalah kalau beliau tidak benar-benar merasakannya? Dalam contoh kasus ini, Bagaimana pejabat terkait bisa benar-benar memikirkan solusi konkrit atas kemacetan yang merajalela jika mereka tidak pernah benar-benar merasakannya karena selalu dikawal kemana-mana. Bahkan untuk beberapa level pejabat, ada yang harus disterilkan jalanannya hanya agar mereka bisa melintas dengan aman dan nyaman.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan betapa muak dan menjengkelkannya tiap hari berangkat dan pulang kerja selalu bermacet-macet ria.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan masuk angin karena kaos dalam basah keringetan akibat panas-panasan macet parah.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan frustasi karena harus menahan emosi menghadapi tensi jalanan yang tinggi.
Mereka tidak pernah benar-benar merasakan semua itu. Makanya langkah mereka hanya berkutat pada wacana, hasil membaca dan teori belaka.
Seingat saya belum pernah dengar berita ada seorang Presiden, atau seorang gubernur atau kapolda metrojaya atau pejabat berwenang lainnya yang sedang mengendarai mobil atau motor sendiri di Jakarta kemudian turun dari kendaraannya dan marah-marah karena kemacetan parah yang sering kali tak tahu apa sebabnya.
Memang pengawalan pejabat itu halal sesuai ketentuannya, tapi buat saya itu malah membuat manja dan pejabat tak bisa benar-benar memikirkan masalah yang dirasakan rakyat jelata. Sekali lagi, karena mereka tidak benar-benar merasakan tidak enaknya.
Semua manusia akan bereaksi atas apa yang dialami dirinya sendiri. Bedanya, rakyat jelata hanya bisa ngomel-ngomel sendiri dan dipendam dalam hati, sedangkan pejabat yang punya kuasa bisa ngomel-ngomelin bawahannya dan mengambil kebijakan nyata.